SAYA begitu menginginkannya. Tetapi malam menjelang
penerjunan pertama, sulit bagi saya untuk memicingkan mata. Berulang kali saya
bangkit memeriksa payung terjun saya, untuk memastikan bahwa semua beres. Rasa
cemas yang saya alami memang tidak saya sembunyikan.
Esok paginya, dalam truk yang membawa kami dari
Margahayu ke Husein Sastranegara, saya menoleh ke arah rumah sakit yang kami
lalui, kesitulah para penerjun yang nahas akan dikirim. Kalau setengah nahas,
mungkin masih akan beruntung dimandikan oleh para suster. Kalau nahas komplet,
pasti langsung dimandikan oleh Pak Modin.
Kami lalu mencoba menyanyi bersama. It’s a Long Way to
Tippery terdengar sumbang. Di Husein Sastranegara, kami langsung mengantre
toilet, untuk melepas ketegangan. Kami sadar benar resiko kegagalan yang kami
hadapi. Karena itu, kami mempersiapkan dan dipersiapkan sedemikan rupa untuk
memperkecil resiko kegagalan itu.
Rasa cemas dan takut gagal, itulah pokok pembicaraan
kita kali ini. Siapa sih, yang belum pernah mengalami rasa cemas? Terutama pada
saat seperti sekarang ini, ketika kepastian merupakan hal yang langka.
Sampai-sampai ada seorang eksekutif berkata, “Tiap berangkat ke kantor, saya
rasanya seperti pergi ke kasino. Apakah hari ini saya akan membuat keputusan
yang bakal mengangkat bisnis saya atau malah menghancurkannya.” Dan itu cocok
dengan sebuah pepatah : If you don’t throw the dice, you will never land a
six.
Mark H McCormack dalam buku larisnya What They
don’t Teach You at Harvard Business School mengatakan bahwa rasa cemas atau
takut gagal justru merupakan faktor motivasi yang hebat dalam bisnis. “Kalau
seseorang tidak pernah kawatir akan kegagalannya, mungkin ia juga tak peduli
akan arti keberhasilan,” tulis Mark.
Bjorn Borg, contohnya, adalah petenis yang dikenal
“dingin” di lapangan. Padahal, ia mengakui, pada titik-titik tertentu ia begitu
tercekam kecemasan dan harus memeras konsentrasi untuk dapat tetap
mengembalikan bola. Ketakutannya untuk gagal begitu besar karena kemauannya
untuk sukses justru lebih besar lagi.
Tugas menjual, sebagai salesman, adalah salah satu
jenis tugas yang secara konstan menghadapkan para petugasnya kepada ketakutan
akan kegagalan. Takut ditolak, takut gagal menjual, adalah masalah terbesar
yang dihadapi para salesman. Setiap kali ia turun dari mobil dan memasuki toko
untuk menjual, ia sudah memasuki the game of chance itu. Nasibnya hanya
ditentukan oleh jawaban pemilik toko, membeli atau tidak membeli.
Apapun yang kita jual, barang ataupun jasa, sebenarnya
kita “menjual” diri kita sendiri. Kita menempatkan ego kita sendiri di garis
depan. Kalau bau keringat kita sudah tercium dari jarak tiga meter, atau bau
mulut kita mengumbar bau mulut buaya yang berpuasa seminggu penuh, boleh jadi
kita sudah ditolak sebelum mulai menjual. Tetapi, salesman terbaikpun
tak pernah tak ditolak. Menjual memang merupakan sesuatu yang personal.
Sedangkan menolak tawaran tidak selalu personal. Belajar menerima penolakan
tidak berarti harus menyukainya.
Menjual sebenarnya bukan melulu pekerjaan salesman.
Salesmanship dituntut pada hampir segala segi kehidupan. Kita menjual gagasan
kepada atasan agar ia mau menaikkan gaji kita. Anak-anak berusaha menjual
kepada orangtuanya agar ia boleh malam Minggu hingga pukul 12. Istri menjual
kepada suami agar diperbolehkan memendekkan rambutnya. Kita semua
mengenal the power of persuasion, dan the art of negotiation.
Dan kita semua telah berpengalaman untuk menghindari jawaban “tidak”.
Menjual secara efektif merupakan gabungan antara
kesabaran dan ketekunan, serta kepekaan terhadap situasi. Salesman perlu
mengetahui kapan saatnya ia, pada akhirnya, “memaksa” pembeli membeli produk
yang ditawarkannya. Soalnya, keyakinan adalah sesuatu yang menular. Begitu juga
keraguan-raguan. Dan keyakinan terhadap apa yang ditawarkannya itu akan
menimbulkan kesadaran baru: bahwa sesungguhnya ia tidak merepotkan atau
mengganggu, tetapi justru membantu bisnis pelanggan yang dikunjunginya.
Bagaimanapun, toko memerlukan aneka ragam barang. Kalau bukan salesman yang
membawanya, siapa lagi?
Kunci untuk menghindari kegagalan adalah persiapan.
Konfusius mengajarkan: dalam segala hal, keberhasilan hanya ditentukan oleh
persiapan. Tanpa persiapan, yang ada hanyalah kegagalan.
****
Ditulis
ulang oleh Taksaka Wulung, Senin 6 Mei 2013- Unix.Net
Sumber : Bondan
Winarno, Majalah Tempo, 22 Juni 1985