Jumat, 13 September 2013

KIAT MENGATASI RASA CEMAS

SAYA begitu menginginkannya. Tetapi malam menjelang penerjunan pertama, sulit bagi saya untuk memicingkan mata. Berulang kali saya bangkit memeriksa payung terjun saya, untuk memastikan bahwa semua beres. Rasa cemas yang saya alami memang tidak saya sembunyikan.

Esok paginya, dalam truk yang membawa kami dari Margahayu ke Husein Sastranegara, saya menoleh ke arah rumah sakit yang kami lalui, kesitulah para penerjun yang nahas akan dikirim. Kalau setengah nahas, mungkin masih akan beruntung dimandikan oleh para suster. Kalau nahas komplet, pasti langsung dimandikan oleh Pak Modin.

Kami lalu mencoba menyanyi bersama. It’s a Long Way to Tippery terdengar sumbang. Di Husein Sastranegara, kami langsung mengantre toilet, untuk melepas ketegangan. Kami sadar benar resiko kegagalan yang kami hadapi. Karena itu, kami mempersiapkan dan dipersiapkan sedemikan rupa untuk memperkecil resiko kegagalan itu.

Rasa cemas dan takut gagal, itulah pokok pembicaraan kita kali ini. Siapa sih, yang belum pernah mengalami rasa cemas? Terutama pada saat seperti sekarang ini, ketika kepastian merupakan hal yang langka. Sampai-sampai ada seorang eksekutif berkata, “Tiap berangkat ke kantor, saya rasanya seperti pergi ke kasino. Apakah hari ini saya akan membuat keputusan yang bakal mengangkat bisnis saya atau malah menghancurkannya.” Dan itu cocok dengan sebuah pepatah : If you don’t throw the dice, you will never land a six.

Mark H McCormack dalam buku larisnya What They don’t Teach You at Harvard Business School mengatakan bahwa rasa cemas atau takut gagal justru merupakan faktor motivasi yang hebat dalam bisnis. “Kalau seseorang tidak pernah kawatir akan kegagalannya, mungkin ia juga tak peduli akan arti keberhasilan,” tulis Mark.

Bjorn Borg, contohnya, adalah  petenis yang dikenal “dingin” di lapangan. Padahal, ia mengakui, pada titik-titik tertentu ia begitu tercekam kecemasan dan harus memeras konsentrasi untuk dapat tetap mengembalikan bola. Ketakutannya untuk gagal begitu besar karena kemauannya untuk sukses justru lebih besar lagi.

Tugas menjual, sebagai salesman, adalah salah satu jenis tugas yang secara konstan menghadapkan para petugasnya kepada ketakutan akan kegagalan. Takut ditolak, takut gagal menjual, adalah masalah terbesar yang dihadapi para salesman. Setiap kali ia turun dari mobil dan memasuki toko untuk menjual, ia sudah memasuki the game of chance itu. Nasibnya hanya ditentukan oleh jawaban pemilik toko, membeli atau tidak membeli.

Apapun yang kita jual, barang ataupun jasa, sebenarnya kita “menjual” diri kita sendiri. Kita menempatkan ego kita sendiri di garis depan. Kalau bau keringat kita sudah tercium dari jarak tiga meter, atau bau mulut kita mengumbar bau mulut buaya yang berpuasa seminggu penuh, boleh jadi kita sudah ditolak sebelum mulai menjual. Tetapi, salesman terbaikpun tak pernah tak ditolak. Menjual memang merupakan sesuatu yang personal. Sedangkan menolak tawaran tidak selalu personal. Belajar menerima penolakan tidak berarti harus menyukainya.

Menjual sebenarnya bukan melulu pekerjaan salesman. Salesmanship dituntut pada hampir segala segi kehidupan. Kita menjual gagasan kepada atasan agar ia mau menaikkan gaji kita. Anak-anak berusaha menjual kepada orangtuanya agar ia boleh malam Minggu hingga pukul 12. Istri menjual kepada suami agar diperbolehkan memendekkan rambutnya. Kita semua mengenal  the power of persuasion, dan the art of negotiation. Dan kita semua telah berpengalaman untuk menghindari jawaban “tidak”.

Menjual secara efektif merupakan gabungan antara kesabaran dan ketekunan, serta kepekaan terhadap situasi. Salesman perlu mengetahui kapan saatnya ia, pada akhirnya, “memaksa” pembeli membeli produk yang ditawarkannya. Soalnya, keyakinan adalah sesuatu yang menular. Begitu juga keraguan-raguan. Dan keyakinan terhadap apa yang ditawarkannya itu akan menimbulkan kesadaran baru: bahwa sesungguhnya ia tidak merepotkan atau mengganggu, tetapi justru membantu bisnis pelanggan yang dikunjunginya. Bagaimanapun, toko memerlukan aneka ragam barang. Kalau bukan salesman yang membawanya, siapa lagi?

Kunci untuk menghindari kegagalan adalah persiapan. Konfusius mengajarkan: dalam segala hal, keberhasilan hanya ditentukan oleh persiapan. Tanpa persiapan, yang ada hanyalah kegagalan.

****
Ditulis ulang oleh Taksaka Wulung, Senin 6 Mei 2013- Unix.Net
Sumber : Bondan Winarno, Majalah Tempo, 22 Juni 1985