Kamis, 31 Maret 2016

MENGAPA SAYA? MENGAPA TIDAK?



Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Almarhum Pepeng adalah sosok yang inspiratif. Dalam keadaan sakit parah pun, dia masih sanggup menjadi inspirasi.

Ketika sakit parah, ia sempat protes pada Tuhan. Why me? Kenapa saya diperlakukan begini? Kenapa saya yang duji dengan ujian ini? Pepeng menemukan jawaban Tuhan. Singkat saja: Why not?

Kalau kita percaya pada Tuhan yang maha kuasa, pertanyaan atau protes kita itu menjadi konyol. Karena Tuhan maha kuasa, jadi, ya suka-suka Dia. Kenapa saya? Kenapa tidak? Kenapa kita merasa harus diistimewakan oleh Tuhan?

Tapi apa sebenarnya ujian yang sering kita ratapi? Hidup itu seperti berjalan menembus hujan. Siapapun yang berjalan menembus hujan, akan diterpa air hujan. Tanpa kecuali. Jadi, tidak ada yang berhak mengeluh ketika terkena air. Kalau tidak mau terkena air, jangan berjalan menempuh hujan. Artinya, jangan hidup, mati saja.

Apakah hujan itu petaka, atau sebenarnya rahmat? Itu hanya soal mind set kita. Hujan itu petaka atau rahmat, itu hanya soal bagaimana cara kita melihatnya.

Bagi orang yang menganggap basah itu masalah, maka hujan itu adalah petaka. Orang yang sedang haus, cukup membuka mulutnya, maka ia mendapatkan minuman.

Yang menganggap basah itu masalah, bisa memilih untuk memakai payung atau berteduh. Kalaupun akhirnya dia terpaksa basah karena tidak jalan untuk menghindar, apa boleh buat. Toh, basah itu tidak membunuhnya.

Begitulah. Kadang kita lupa, bahwa ujian terbesar dalam hidup itu kematian. Itu satu-satunya ujian yang kita tidak mongkin lolos. Di luar itu, kalau apapun yang kita hadapi itu kita anggap ujian, maka tak ada satu pun ujian yang kita tidak bisa melewatinya.

Sekali lagi, rahmat atau musibah itu semata soal mind set kita saja. Kita sebut rahmat kalau akibat sesaatnya adalah sesuatu yang kita sukai. Sebaliknya, kita anggap itu musibah, karena kita tidak menyukainya.

Andaikan Anda tiba-tiba mendapat uang 10 milyar rupiah hari ini, Anda tentu menganggapnya rahmat. Tapi sekali lagi, uang itu rahmat atau bukan, tergantung pada cara Anda bersikap. Sama seperti Anda bersikap terhadap curahan air hujan tadi. Dengan uang itu di tangan, Anda mungkin akan lupa daratan. Itu mungkin akan jadi pangkal kehancuran Anda dan keluarga Anda. Who knows? Kelak Anda akan sadari bahwa yang tadinya Anda kira rahmat, ternyata menjadi laknat.

Sebaliknya, kalau Anda hari ini sakit demam berdarah, Anda akan menganggapnya musibah. Lagi-lagi, musibah atau rahmat, itu ada pada pikiran Anda. Kalau Anda bersikap positif, Anda berobat, lalu sembuh.

Tubuh Anda akan jadi lebih kuat. Anda akan lebih hati-hati menjaga kesehatan. Akhirnya, penyakit tadi menjadi rahmat. Mengeluh, meratap, mungkin akan membuat penyakit makin parah. Tidak hanya fisik yang sakit, jiwa pun menjadi sakit.

Jadi sekali lagi, hidup itu ibarat berjalan menembus hujan. Jangan merasa istimewa kalau Anda basah. Biasa saja. Karena semua orang juga basah. Jangan merasa istimewa ketika sedang menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan, lalu mendongak ke atas dan bertanya, “Why me?” Karena Tuhan akan dengan enteng menjawabnya, “Why not?”

Pertanyaan yang lebih tepat pada saat itu adalah, “Apa yang perlu saya lakukan sekarang?”

Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/2016/03/29/06270071/Why.Me.Why.Not.
Tulisan Hasanudin Abdurakhman lain bisa dibaca juga di http://abdurakhman.com


Catatan Tambahan: Jangan Bunuh Diri

Dari Jundub bin Abdullah, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Dahulu ada seorang  laki-laki dari umat sebelum kalian mengalami luka parah pada tubuhnya. Namun ia tidak sabar menahan rasa sakitnya. Maka ia mengambil sebilah pisau, lalu mengiris tangannya dengan pisau tersebut.  Darah pun tidak berhenti mengalir darinya hingga ia mati. Allah ta’aala berfirman: ‘Hamba-Ku mendahului-Ku dengan menyegerakan kematiannya, maka Aku mengharamkan Surga atasnya.” (HR. Bukhari)